Apa yang sudah dilakukan Bobby ini sebenarnya benar-benar sederhana, buka lagi akses pendidikan yang sebelumnya sempat tertutup oleh tarik-menarik pemilikan asset. Tidak ada cara hebat, tidak harus ketrampilan hukum tingkat tinggi. Perlu keberanian memutuskan berbasiskan akal sehat dan kebutuhan public. Dan cara ini semestinya menjadi pukulan kepribadian untuk Pemkab Deliserdang, terutama Bupati dr. Ludin Tambunan karena untuk memperoleh Jalan keluar ini tidak membutuhkan kepandaian politik Tingkat tinggi muapun pendekatan hukum yang hebat tapi cukup keberanian untuk memakai akal sehat dan Nurani.
Bila memang si bupati cemas akan resiko hukum, tidakkah dia dapat berunding dengan barisan agen hukumnya? Atau, bila perlu, konsultasi dengan pemprov bahkan juga pusat? Sayang, yang diputuskan malah perlakuan represif, mengunci gedung sekolah, hentikan proses mengajar-belajar, dan memunculkan kegelisahan bahkan juga sakiti hati warga.
Kekesalan public makin dalam saat Pemkab Deliserdang, lewat Wakil Bupati Lomlom Suwondo, malah keluarkan pengakuan yang menyulut kemelut. Dia seakan mempertentangkan organisasi masyarakat Islam satu sama yang lain, menyepelekan posisi Alwasliyah yang terang adalah satu diantara organisasi masyarakat Islam paling besar dan paling tua di Sumatera Utara. Dia ialah sisi dari renyut sejarah dan sosial keislaman Sumatera Utara. Benar-benar ini ialah sebuah pendekatan yang tidak cuma salah secara norma, tapi juga beresiko dengan sosial-politik. Bila pimpinan tidak jeli dalam menjaga serasi, karena itu yang dipertaruhkan ialah kestabilan sosial tersebut.
Seorang bupati dan wakil bupati tidak cuma punya beberapa pencoblosnya. Dia ialah pimpinan semua warga. Saat seorang kepala wilayah tidak berhasil berlaku netral dan adil, bermakna dia sedang mengecilkan derajat kepimpinannya.
Kita memang pantas sedih karena mekanisme demokrasi yang mahal ini hasilkan pimpinan yang masih belum dewasa secara politik dan sosial. Pimpinan yang hidup dalam bayangan euforia kemenangan, tidak dalam kesadaran jika dia pimpin rumah besar namanya Deliserdang yang dapat bersebelahan beragam kelompok, agama, suku, mazhab, dan organisasi masyarakat.
Deliserdang, seperti umumnya wilayah lain, perlu pimpinan yang berpikir tenang, memiliki jiwa besar, dan sanggup menjadi penghubung antara komponen warga. Bukan pimpinan yang jadikan kedudukan untuk alat menyelesaikan masalah politik masa silam.
Bila pimpinan wilayah masih repot membagikan warga ke kotak teman dan kotak musuh, karena itu masa datang wilayah itu sedang ditaruhkan. Kita perlu lebih dari sekedar kepala wilayah, kita perlu seorang negarawan.
Berikut refleksi penting untuk kita. Jika mekanisme yang kita Yakin ini belum seutuhnya sanggup hasilkan pimpinan yang mempunyai kewarasan perasaan dan keterpihakan ke manfaat umat. Kita perlu lebih dari sekedar pimpinan yang pintar secara akademis. Kita perlu pimpinan yang pintar secara kepribadian. Yang tidak biarkan ego dan sakit hati individu mempertaruhkan kebutuhan masyarakat kecil, khususnya beberapa anak yang cuma ingin bersekolah.